RADAR JABAR - Ratusan gerai Alfamart di kota bogor menjadi sorotan DPRD. Selain jaraknya yang berdekatan, penyerapan tenaga kerja lokal pun dinilai belum adil.
Berdasarkan data Dinas Koperasi UKM Perdagangan dan Perindustrian (Dinkukmdagin) di kota bogor, terdapat 157 gerai Alfamart. Sementara total karyawan sebanyak 1.330 orang, sedangkan yang ber-KTP kota bogor hanya 600 orang.
Anggota Komisi IV DPRD kota bogor, Shendy Pratama mengatakan, permasalahan Alfamart merupakan problem klasik. Seharusnya manajemen Alfamart harus berpihak kepada tenaga kerja lokal lantaran mereka menanamkan investasinya di kota bogor.
“Kami garis bawahi, apabila tak ada perubahan manajemen dan pengelolaan Alfamart. Komisi IV akan rekomendasikan penutupan operasional,” ucapnya kepada wartawan usai melakukan rapat dengan Alfamart di Gedung DPRD, Rabu (15/3/2023).
Shendy menegaskan bahwa, Alfamart harus menghormati Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 37 Tahun 2023 soal operasional serta tenaga kerja. “Yang harus diutamakan adalah tenaga kerjanya, kemudian manajemen termasuk perizinan,” ucapnya.
Shendy menegaskan bahwa, dalam rapat kerja itu ditemukan adanya ketidak cocokan data antara Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) dan Dinas Koperasi, Usaha Kecil, Menengah, Perdagangan dan Perindustrian (Dinkukmdagin) kota bogor.
“Kan disitu dilaporkan bahwa ada 157 gerai, dan 600 pegawai ber-KTP kota bogor, sementara total karyawan ada 1.330. Artinya tidak setengahnya warga kota bogor,” jelas dia.
Kendati demikian, sambung dia, Alfamart berdalih bahwa tenaga kerja asal kota bogor lainnya tersebar di kota dan kabupaten lain.
“Ini akan kami cek, termasuk kaitan gaji dan BPJS. Kami ingin memastikan agar itu tak bertentangan dengan aturan,” katanya.
Sementara itu, Kepala Dinkukmdagin kota bogor, Atep Budiman mengatakan bahwa kota bogor memiliki regulasi yang dituangkan Perwali 37 tahun 2013 dan Perwali 10 Tahun 2017 yang mengatur soal jam operasional, jarak, pelayanan, dan kemitraan dengan UMKM.
Namun, seiring diterbitkannya UU Ciptaker, Permendag, dan peraturan pemerintah, daerah tak lagi diberi ruang untuk melakukan pengaturan. Sehingga perwali lama tak bertentangan dengan aturan di atasnya.
“Kami nggak mau melaksanakan pengaturan di lapangan menggunakan legal standing yang rawan bertentangan dengan aturan di atasnya,” ucapnya.
Atep menegaskan bahwa, perwali harus disesuaikan dengan acuan regulasi di atasnya. Namun, sambung Atep, pengusaha harus mengedepankan kearifan lokal agar tak terjadi gesekan.
Sebab, tujuan pemerintah menerbitkan perwali untuk menjaga keharmonisan antara semua pihak, termasuk mengikis persaingan dengan pedagang kecil. “Memang ada anggapan dari pedagang kecil, bila mereka (toko modern) berbuat semaunya,” ungkap Atep.
Atep menambahkan, UU Ciptaker justru memudahkan dan membantu pemerintah dalam memajukan perekonomian, termasuk penyerapan tenaga kerja.